Oleh: Wayan Windia
Sebetulnya sudah ada peraturan yang bisa membantu petani kita di Bali. Yakni, Pergub No. 99 tahun 2018. Tetapi pergub itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Karena tidak ada pengawasan, Perusda tidak ada uang untuk menalangi pembelian produk petani, dan petani kita sudah tidak berdaya (hidup segan matipun tak mau).
Menurut istilah Clifford Geertz, bahwa pertanian kita sedang dalam pusaran involusi. Saya juga agak heran. Kok untuk produk arak, satpol PP Bali turun tangan untuk melakukan pengawasan, karena ada produk abal-abal. Tetapi kok tidak ada pengawasan untuk pergub yang akan menolong nasib petani? Barangkali hal ini adalah kebijakan yang tidak adil.
Dalam sejarah pembangunan, memang sangat jarang ada pejabat yang ingin memperhatikan sektor pertanian. Adapun yang saya tahu, hanya mantan Walikota Denpasar, Rai Mantra, yang menaruh perhatian yang serius pada sektor pertanian dan penguatan kelembagaan tradisional di akar rumput.
Pejabat yang lain, belum saya lihat gerak-geriknya. Mungkin karena tidak banyak ada citra yang terlahir bila membangun sektor pertanian. Khususnya berkaitan dengan perolehan suara dalam pilkada. Jangka waktu keberhasilan proses pembangunan pertanian juga memakan waktu yang lama. Mungkin itulah sebabnya, pada saat ini, desa adat sangat dimanjakan, dan mendapat fasilitas yang aduhai.
Gunnar Myrdal, pengarang buku Asian Drama telah lama mengatakan babwa proses pembangunan pertanian selalu penuh pro dan kontra. Ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Ada yang hirau dan ada yang tidak hirau. Tetapi pada saatnya eksistensi sektor pertanian akan menentukan, apakah suatu bangsa itu akan dapat eksis atau tidak.
Buktinya sudah nyata. Bahwa hanya pada saat-saat kritis dan krisis, sektor pertanian mendapatkan perhatian. Di mana orang-orang yang kehilangan pekerjaan di sektor lain, lalu menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.
Lalu pemerintah berwacana bahwa sektor pertanian sebagai sektor penyangga sangat perlu mendapatkan perhatian. Tetapi setelah keadaan agak normal, maka sektor pertanian kembali ditinggalkan. Tidak lagi mendapat wacana perhatian dari pemerintah. Tetapi kalau kasus pada era tahun 1960-an kembali melanda, barulah mungkin orang-orang akan tersadar, betapa pentingnya sektor prtanian. Di mana pada saat harga beras terus membubung, dan penduduk harusĀ makan bungkil pisang, cacah (ketela busuk yang dikeringkan), dan lain-lain.
Saya kira, kesepakatan dalam diskusi HKTI, yang dihadiri oleh Ketua Komisi II DPRD Bali, dan pejabat Pemrov Bali perlu direalisasikan. Bahwa anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan sektor pertanian di Bali perlu mencapai 5% dari APBD Bali.
Koar-koar tentang pertanian akan tidak bermakna, bila tidak tercermin dalam politik anggaran. Untuk apa anggaran itu? Marilah kita duduk bersama. Tetapi menurut saya, anggaran itu dipergunakan untuk pembangunan industri hilir yang mengolah produk pertanian, dalam batas-batas tertentu untuk subsidi output yang relevan, dan perkuatan kelembagaan subak untuk bisa aktif dalam kegiatan ekonomi.
*) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.