Mikroorganisme atau mikroba ternyata memegang peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya menjadi penunjang kehidupan, mikroba juga bisa menjadi penyebab kematian. Pandangan ini disampaikan oleh Ir. I Gusti Ketut Riksa, Staf Ahli PT Songgolangit Perada, dalam sebuah refleksi ilmiah yang menjelaskan bagaimana mikroba dapat memengaruhi kualitas lingkungan, kesehatan, bahkan masa depan bumi.
“Tanpa mikroba, tidak ada kehidupan. Tapi mikroba juga bisa menjadi penyebab kematian. Artinya, hidup dan mati di dunia fisik ini sangat bergantung pada mikroba,” ujar Gusti Riksa yang juga merupakan instrukur Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA) Buleleng.
Ia mengutip gagasan Prof. Teruo Higa dari Jepang, yang dikenal dengan penemuannya tentang Effective Microorganisms (EM). Dalam bukunya An Earth Saving Revolution (1993), Higa menjelaskan bahwa di dunia ini selalu ada dua kutub kekuatan yang bertentangan: kekuatan regenerasi (membangun) dan kekuatan degenerasi (merusak). Mikroba berperan besar dalam menentukan kutub mana yang lebih dominan.
Gusti Riksa menyebut, teknologi EM mampu memperkuat kekuatan regenerasi. Mikroba dalam EM menghasilkan antioksidan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh, memperpanjang usia, mengatasi pencemaran, serta meregenerasi tanah dan lingkungan. Dalam pertanian, EM terbukti mampu meningkatkan kesuburan lahan secara alami.
Tanah Bulan Tidak Mengandung Mikroba
Ia juga menyoroti penelitian terhadap tanah dari bulan yang dibawa kembali ke bumi oleh ekspedisi Rusia. “Tanah bulan tidak mengandung mikroba. Artinya, tidak ada kehidupan di sana. Bahkan mikroba pun tak bisa hidup. Inilah salah satu alasan mengapa ekspedisi ke bulan dihentikan,” ungkapnya.
Catur Yuga dan Kesadaran Zaman
Dari perspektif budaya Bali, Gusti Riksa mengaitkan peran mikroba dengan filosofi Catur Yuga—empat zaman kehidupan manusia. Menurutnya, saat ini bumi tengah berada dalam masa Kali Yuga, zaman penuh kekacauan, egoisme, dan dominasi kekuatan merusak. Salah satu indikatornya adalah meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Namun, ia menegaskan bahwa masih ada harapan. “Teknologi EM dapat menjadi antitesis dari kekuatan degeneratif yang kini dominan. Teknologi ini bersifat regeneratif dan bisa diterapkan di berbagai bidang—pertanian, peternakan, hingga pengelolaan limbah,” jelasnya.
Ajak Beralih ke Organik
Sebagai penutup, Ketut Riksa mengajak masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia sintetis. “Sudah saatnya kita beralih ke pertanian organik yang lebih murah, mudah, dan berkelanjutan. Mikroba bisa menjadi sahabat manusia jika kita memperlakukannya dengan benar,” tegasnya.https://linktr.ee/em4