Mengenang Pertanian Tradisional Bali

0
135
Ir. I Gusti Ketut Riksa Staf Ahli PT Songgolangit Persada & Instruktur IPSA Bali.

Oleh: Ir. I Gusti Ketut Riksa )*

Saya bukanlah anti pembaharuan, selama yang baru itu lebih baik saya menerimanya dengan senang hati, yang biasa terjadi ialah beberapa hal tanpa disadari menghilang begitu saja. Kalau yang hilang itu sesuatu yang baik dan menarik tentulah sangat disayangkan. Sekali menghilang dia akan terus tiada tanpa bekas, bahkan sangat sulit diwujudkan kembali, ahirnya dilupakan padahal yang dilupakan itu menjadi idola manyarakat dunia. Semuanya itu hilangnya terjadi secara evolusi.

Dunia mengenal Bali sebagai Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura dengan beragam upacara, seni dan budayanya. Dibidang pertanian, Bali terkenal karena subaknya sangat disayangkan satu persatu dari kebanggaan itu mulai menghilang. Saya akan menyoroti beberapa kebiasaan kuno yang biasa dilakukan di bidang pertanian yang sekarang mulai redup.

Orang-orang tua di Bali berpendapat bahwa semua lahan yang dapat digenangi air irigasi sebaiknya disawahkan, karena sawahlah yang selamanya terjamin kesuburannya, setiap ada banjir pintu air dibuka agar air yang membawa lumpur masuk kesawah membawa lumpur untuk menyuburkan sawah, dengan demikian pemilik sawah akan selalu terjamin pangannya. Jaman dulu orang yang dianggap kaya ialah mereka yang memiliki sawah.

Waktu saya sebagai kepala dinas dikabupaten Bangli saya pernah memasuki dua buah terowogan air, yang satu rowongan sudah jadi, yang satu lagi sedang dikerjakan. Trowongan itu dibuat dengan ukuran satu orang berjalan sambil membungkuk. Secara kebetulan saya melihat orang yang sedang bekerja pada kedalaman lebih dari satu kilometer menemukan batu besar persis pada lokasi yang sedang  dikerjakan. Dengan peralatan yang sangat sederhana seperti linggis, betel dan petromak, batu itu berhasil ditembusnya. Saya membayangkan alangkah sulitnya memperoleh air irigasi untuk mengairi sawah.

Yang terjadi sekarang ialah: dimana-mana terdapat plang yang berbunyi: “tanah ini dijual”. Setiap tahun sawah berkurang karena beralih fungsi menjadi non sawah, mereka tidak mengetahui leluhur mereka bergotong-royong membuat saluran air berkilo-kilo meter menembus perbukitan membuat terowongan air untuk mengairi sawahnya, akankah kita terus-menerus terjamin pangannya?

Semua pemilik sawah juga memiliki ternak yang dipelihara di sawah, secara langsung limbah padat dan cairnya menyuburkan sawah. Revolusi besar-besaran dibidang peternakan menyebabkan kandang ternak bepindah kekandang koloni, petani tidak lagi memelihara ternak karena tidak mampu bersaing dengan pemodal besar, Akibatnya sawah kekurangan bahan organik, dikandang koloni timbul polusi.

Peraturan persubakan disebut “awig-awig subak”, jaman dulu awig-awig ini sangat dihormati oleh semua anggota subak, diantaranya disaat mulai turun ke sawah, semua anggota subak secara serempak melakukan upacara “ngendagin”(mulai turun kesawah) dilanjutkan dengan “mapag toya”(upacara menjemput air).

Kegiatan ngendagin dan mapag toya beberapa subak mulai ditinggalkan oleh beberapa anggotanya dan tidak dilakukan secara serempak sehingga timbul penanaman “tulak sumur”(waktu tanam tidak serempak). Anggota subak mulai berbuat semaunya; awg-awig subak mulai dilanggarnya. akibatnya siklus hama dan penyakit tidak terputus, setiap saat ditemukan gangguan hama dan penyakit seperti tikus, wereng colklat, wereng hijau tungro, walangsangit dll.

Dengan dihilangkannya lembaga “Pesedahan”(sedahan tukad, sedahan kering, sedahan agung), subak tidak lagi memiliki atasan sebagai mediator antara subak dan birokrasi shingga organisasi subak menjadi terlatar akibatnya tidak adalagi yang mempertahankan keutuhan subak, saluran air banyak yang rusak lebih-lebih pada subak yang berada diperkotaan. Diperkotaan bahkan pemilik sawah tidak lagi bertani namun sawahnya dikontrakkan.

Karena sawahnya dikontrakkan, banyak upacara sipersubakan ditinggalkan, anggota subak tidak lagi mengenal siapa PPLnya sehingga menyulitkan untuk melakukan penyuluhan, sehingga program penyuluhannya tidak efektif. Semasih pemerintah berdiri diatas dua kaki yang berbeda (kimia/organik) petani akan ragu-ragu memilih kedua alternative itu akibatnya kelihan subak pun sulit untuk mengambil kebijakan, setiap anggota subak bebas memilih jenis teknologi yang akan diterapkan. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap perkembangan ekonomi masyarakat.

Upacara dipersubakan mulai terkikis seperti penggunaan dewasa, sesajen selama peetumbuhan tanaman seperti upacara nyungsung dibedugul sesajen sesudah panen, mantenin padi di lumbung, sesajean terhadap manikgalih (beras) di pulu dll yang menyebabkan taksunya subak memudar, akankah subak mampu menarik wisatawan mancanegara yang dulu sempat terkenal ?

Mudah-mudahan pesimisme saya ini dipertimbangkan oleh pejabat pengambil keputusan untuk dicarikan jalan keluarnya sebagai mana mestinya, Terima kasih.https://linktr.ee/em4

)* Staf Ahli PT Songgolangit Persada & Instruktur IPSA Bali.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini