Gusti Riksa: Lidah Mampu Bedakan Makanan Mengandung Daya Hidup Atau Tidak

0
105
Stah ahli PT. Songgolangit Persada Ir. I Gusti Ketut Riksa sedang mengkonsumsi talas yang dibudidaya secara organik menggunakan EM4.

Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa menilai, lidah sebenarnya mampu membedakan makanan yang mengandung atau yang tidak mengandung daya hidup sekaligus bermanfaat untuk kesehatan tubuh.

“Orang tua zaman dulu, setelah panen padi di sawah disimpan di dalam lumbung, setiap minggu baru diturunkan dari lumbung untuk ditumbuk menjadi beras, lalu dimasak,” kata Gusti Ketut Riksa yang juga Instruktur Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali yang melatih pertanian organik berbasis Effective Microorganisme (EM) kepada 6.000 petani dan generasi milenial seluruh Indonesia.

Ia mengatakan, setahun lamanya padi yang disimpan di lumbung bila disemaikan akan tumbuh menjadi tanaman baru. Tanaman seralia (biji-bijian) mampu mempertahankan daya hidup lebih lama dari pada tanaman lainnya.

“Orang tua zaman dulu selalu makan nasi yang masih mengandung daya hidup. Berbeda dengan masyarakat modern yang selalu makan beras sudah lama tersimpan di gudang. Beras tersebut pasti lebih cepat kehilangan daya hidup dari pada padi,” ujar Gusti Riksa.
Ia menilai, teknologi sekarang telah mengorbankan daya hidup yang sangat bermanfaat demi alasan efisiensi. Hanya pengetahuan tentang daya hidup itu belum terlalu populer.

Manusia mengenal banyak sumber energi termsuk benda-benda mati yang memiliki energi minimal dalam bentuk ahesi dan kohesi. Logam memiliki medan magnet dengan kekuatan yang cukup besar, yakni daya tarik dan daya tolak. Dari energi tersebut manusia dapat menghasilkan listrik yang sangat bermanfaat.

Sumber energi lain berupa panas bumi. Posil yang dapat diperbaharukan, matahari, angin, gelombang laut dan bahkan energi baru terbaharukan (EBT) sekalipun. Energi hidup yang dikenal dengan “Life power” tentu tidak sama dengan ahesi, kohesi, energi listrik dan sebagainya.

Energi hidup itu dikenal dengan ‘life power’ tentu tidak sama dengan ahesi, kohesi, energi listrik dan sebagainya. Energi hidup itu dikenal kehebatannya oleh para pemikir besar sejak dulu, namun para ahli gizi sekarang belum memasukkan dalam program pangan dan gisi.

Banyak bahan makanan yang cepat kehilangan daya hidup seperti daging dan ikan, namun bahan makanan nabati dapat bertahan dalam waktu yang jauh lebih lama, tutur Gusti Ketut Riksa.https://linktr.ee/em4

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini