Oleh: Ir. I Gusti Ketut Riksa *)
Sebelum Perang Dunia (PD) II petani kebanyakan mengusahakan lahan garapannya secara tradisional. Kata tradisional itu ahir-ahir ini sering dianggap oleh sebagian orang serupa dengan pertanian alami (nature/apa adanya).
Padahal tidaklah demikian, karena teknologi tradisinal jalan di tempat, sedangkan teknologi alam merupakan teknologi yang super canggih, selalu berubah menuju kemajuan. Penemuan para peneliti yang dikatakan lebih baikpun tidak langgeng karana yang langgeng itu hanyalah milik Tuhan.
Orang bijak mengatakan bahwa kehidupan di dunia maya ini diibaratkan sebagai roda pedati yang selalu berputar. Oleh sebab itu kita harus selalu siap menghadapi perubahan demi perubahan itu. Para ahli hanyalah akan menemukan sesuatu yang “mendekati” kebenaran, namun apa yang ditemukan itu jangan menyimpang dari hukum alam. Hati-hatilah menghadapi perubahan itu karena perubahan itu belum tentu membawa kita lebih baik.
Pada saat melaksanakan teknologi tradisional banyak negara mengalami keterbatasan pangan bahkan menutupi kekurangan bahan pangannya melalui impor dari negara-negara donor karena teknologi tradisional selama bertahun-tahun tanpa kemajuan yang berarti. Di lain pihak penduduk dunia terus bertambah, yang mengharuskan penyediaan panganpun bertambah pula. Ternyata negara yang kuat ialah negara agraris bukan negara industri, perdagangan maupun yang pertahanannya hebat karena pada ahirnya siapun tidak kuat menahan perut lapar.
Setelah perang dunia II dimana Jepang dipaksa harus menyerah kepada sekutu bertepatan dengan jatuhnya dua buah bom atom di Nagasaki dan Hirosima yang menyebabkan Jepang harus betekuk lutut, saat itulah dunia berbalik pandang mengalih pada “kimia”. Dapat dikatakan sejak itu pula dunia mulai menerapkan teknologi kimia di bidang pertanian dengan menggunakan pupuk, pestisida dan herbisida kimia sinthetis.
Di tahap awal teknologi ini memang membuahkan hasil, banyak negara merasa tertolong dengan pertanin kimia dan petanipun sangat menyenangi teknologi ini. Karena dengan kandungan bahan organik yang masih tinggi apabila diberikan sedikit ZA maupun Urea tanaman padi tumbuh subur, dengan pemberian pestisida dan herbisida kimia hama penyakit dan tanaman pengganggu tidak mengganggu lagi, produksi pertanian pun mengalami peningkatan.
Namun harus diingat, pribahasa mengatakan bahwa yang berlaku di alam ini adalah hukum alam. Temuan baru yang tidak sesuai dengan hukum alam, cepat atau lambat akan menyebabkan kerugian di tempat lain dan kerugian itu akan lebih besar dari apa yang telah diperoleh sebelumnya. Teknologi kimia dibidang pertanian bukanlah teknologi alam, tetapi merupakan rekayasa manusia di laboratorium.
Meskipun sangat terlambat, Indonesia pun mengikuti opini dunia untuk menerapkan teknologi kimia yang dimulai saat pemerintahan Presiden Soeharto musim tanam 1969/1970. Dari segi peningkatan produksi kitapun mengalami hal yang sama yakni sempat mengalami swasembada beras di tahun 1984. Saat itu Indonesia berguru ke IRRI (Philipina).
Banyak penyuluh pertanian dikirim ke Philipina untuk belajar teknologi kimia beserta rancang bangun dan rekayasa sosialnya. Karena semuanya telah disiapkan dengan baik, pengembangannya pun berjalan lancar. Organisasi kesehatan dunia (WHO) terheran-heran karena negara kita pernah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia tahun 1976, dengan mengimpor dua pertiga dari surplus dunia menjadi negara yang swasembada beras. Hal ini dinyatakan berkat pidato Presiden Pak Harto di Roma yang mengantarkan beliau mendapat julukan “Bapak Pembangunan”.https://linktr.ee/em4
*) Staf Ahli PT Songgolangit Persada dan Instruktur Effective Microorganisme (EM4) pada Institut
Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali. Yang melatih generasi milenial tentang pertanian organik berbasis EM4.