
Oleh: Ir. I Gusti Ketut Riksa *)
Saya bukanlah anti-pembaharuan. Selama yang baru itu lebih baik, saya menerimanya dengan senang hati. Namun yang sering terjadi, tanpa disadari, beberapa hal berharga justru menghilang begitu saja. Bila yang hilang itu sesuatu yang baik dan menarik, tentu sangat disayangkan. Sekali menghilang, ia akan lenyap tanpa bekas, bahkan sangat sulit diwujudkan kembali—akhirnya dilupakan. Padahal, yang dilupakan itu justru menjadi idola masyarakat dunia. Semua itu hilang secara perlahan, secara evolusi.
Dunia mengenal Bali sebagai Pulau Dewata, pulau seribu pura dengan beragam upacara, seni, dan budayanya—lebih khusus lagi karena subak-nya. Sangat disayangkan, dari kebanggaan itu kini satu per satu mulai menghilang. Saya ingin menyoroti beberapa kebiasaan kuno di lingkungan subak yang kini mulai redup, bahkan hilang.
Orang-orang tua di Bali berpendapat bahwa semua lahan yang dapat digenangi air irigasi secara gravitasi sebaiknya dijadikan sawah, karena sawahlah yang selamanya terjamin kesuburannya. Setiap kali banjir datang, pintu air dibuka agar air berlumpur masuk ke sawah dan membawa nutrisi untuk menyuburkannya. Dengan demikian, pemilik sawah akan selalu terjamin pangannya. Pada masa lalu, orang kaya dianggap sebagai mereka yang memiliki sawah.
Ketika saya menjabat sebagai Kepala Dinas di Kabupaten Bangli, saya pernah memasuki dua buah terowongan air yang sangat dalam. Salah satunya sudah mencapai kedalaman tujuh kilometer, dan satu lagi masih dalam proses pengerjaan. Terowongan itu dibuat hanya sebesar orang berjalan sambil membungkuk. Secara kebetulan, saya melihat para pekerja di kedalaman lebih dari satu kilometer, di mana mereka harus menembus batu besar tepat di lokasi pekerjaan. Dengan peralatan sederhana seperti linggis, betel, dan petromaks, batu itu akhirnya berhasil ditembus meskipun suasananya sangat pengap. Saya membayangkan betapa sulitnya perjuangan untuk mendapatkan air irigasi guna mengairi sawah.
Kini, di mana-mana kita melihat papan bertuliskan “Tanah Ini Dijual.” Setiap tahun lebih dari 1.000 hektare sawah berubah fungsi menjadi lahan non-sawah. Mereka seakan lupa bahwa leluhur mereka dahulu bergotong royong membuat saluran air sepanjang berkilometer, menembus perbukitan, bahkan membangun terowongan untuk mengairi sawah. Bila semua sawah telah terjual, mampukah kita kembali bergotong royong seperti dahulu untuk menjamin kebutuhan pangan anak cucu kita?
Dahulu, semua pemilik sawah juga memelihara ternak di sawahnya. Limbah padat dan cair dari ternak menyuburkan tanah. Namun revolusi besar-besaran di bidang peternakan menyebabkan ternak dipindahkan ke kandang koloni. Petani kecil tak lagi mampu memelihara ternak karena kalah bersaing dengan pemodal besar. Akibatnya, sawah kekurangan bahan organik, sementara di kandang koloni muncul polusi.
Peraturan di subak disebut awig-awig subak. Dahulu, awig-awig ini sangat dihormati oleh semua anggota subak, bahkan masyarakat desa. Mereka rela tanahnya digunakan untuk saluran air, sebab lahan di sepanjang saluran itu akan menjadi hijau. Saat mulai turun ke sawah, semua anggota subak bersama-sama melakukan upacara ngendagin (memulai masa tanam), dilanjutkan dengan mapag toya (menjemput air), baru kemudian mengolah tanah.
Kini, upacara ngendagin dan mapag toya mulai ditinggalkan. Tidak lagi dilakukan serempak, sehingga muncul sistem tanam tidak serempak (tulak sumur). Akibatnya, kebersamaan antaranggota subak memudar. Awig-awig mulai dilanggar, dan siklus hama serta penyakit tidak lagi terputus. Gangguan seperti tikus, wereng cokelat, wereng hijau, tungro, dan walangsangit pun sering muncul.
Saya masih ingat bahwa tertib tanam padi musim rendengan disebut kertha masa, dan tertib tanam musim gadu disebut kertha gadu—semuanya dilakukan berdasarkan kebersamaan. Setiap kali ada upacara di subak, mereka mengundang aparat pemerintah yang disebut sedahan: di tingkat kecamatan ada sedahan kering (mengurus tegalan) dan sedahan tukad (mengurus lahan sawah), sedangkan di tingkat kabupaten ada Sedahan Agung. Para sedahan ini menjadi mediator antara subak dan lembaga pemerintah.
Namun setelah lembaga pesedahan (sedahan tukad, sedahan kering, dan sedahan agung) dihapuskan, subak kehilangan mediatornya. Akibatnya, organisasi subak menjadi terbengkalai. Banyak saluran air rusak, terutama di wilayah perkotaan. Di kota, pemilik sawah bahkan tidak lagi bertani—sawahnya disewakan. Para penyewa pun tidak melaksanakan upacara di subak, sehingga subak kehilangan taksu-nya (daya spiritual).
Karena sawah disewakan, anggota subak tidak lagi mengenal siapa penyuluh pertaniannya (PPL). Penyuluhan menjadi tidak efektif, apalagi ketika pemerintah belum tegas antara sistem kimia dan organik. Petani menjadi ragu menentukan pilihan teknologi, sehingga kelian subak pun kesulitan mengambil kebijakan. Setiap anggota bertindak sendiri-sendiri.
Berbagai upacara dalam subak mulai terkikis: penggunaan dewasa, sesajen selama masa tanam seperti nyungsung di Bedugul, serta sesajen pascapanen seperti mantenin padi di lumbung dan persembahan kepada manik galih (beras) di pulu (gentong penyimpan beras). Semua itu membuat taksu subak memudar. Timbul pertanyaan: akankah subak masih mampu menarik wisatawan mancanegara sebagaimana dulu?
Mudah-mudahan pesimisme saya ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pejabat dalam mengambil keputusan. Sudah sepatutnya dicarikan jalan untuk mengembalikan taksu persubakan yang dulu pernah termasyhur.https://linktr.ee/em4
*) Staf Ahli PT Songgolangit Persada & Instruktur IPSA Bali
