Masyarakat lokal dan wisatawan mancanegara sedang menunggu kedatangan kereta dengan shabar, ada yang duduk santai dan tiduran di India.

Oleh: Dr. Wididana )*

Angin semilir bersuhu 12 derajat celcius bercampur debu sedikit menusuk kulit jika tidak memakai mantel. Semilir angin bercampur debu menerobos lubang hidung yang membikin orang rajin bersin, batuk dan upil cepat kering. Baju hangat sederhana sedikit berbau apek aroma rempah terus menempel di tubuh tukang panggul barang yang berkeliaran hilir mudik menawarkan jasa panggul dan sunggi barang, dia mematok harga seratus rupee satu koper. Leher dan bahunya sangat kuat menyunggi dua koper dan lengan menenteng satu koper.

Total berat yang mereka angkut dari lapangan parkir, naik turun tangga sampai ke dalam kereta, atau sebaliknya, rata-rata 50 Kg. Walau mereka makanan seadanya, dan cukup minum air keran mentah, tubuh mereka sangat kuat dan tahan penyakit. Mungkin penyakit dan rasa sakit di dalam tubuhnya takut terhadap perjuangan hidupnya tang sangat keras setiap waktu. Hidup mereka sangat keras, tapi wajahnya penuh senyum dan canda tawa. Mungkin itu jurus menertawai dan menyenyumi hidup, agar hidup mereka lebih bisa dijinakkan.

Di tempat lain, di dalam lorong tunggu kereta, yang lantainya penuh debu, hanya ada tiga puluh tempat duduk plastik seadanya. Di sana juga ada ribuan penumpang duduk di lantai, rebahan, tertidur dan mendengkur lepas saking capeknya menunggu datangnya kereta, yang jadwalnya sering ngadat dan molor. Mereka menunggu dengan sabar, tanpa mengeluh, karena mereka yakin kereta pasti datang walau terlambat.

Di dalam kereta ekonomi yang penuh sesak, yang udaranya pengap dan panas, ada ribuan penumpang bersesakan menunggu kereta melaju, sedangkan ribuan penumpang lainnya yang belum bisa masuk ke dalam gerbong, dengan sabar menunggu kedatangan kereta selanjutnya, mereka melanjutkan rebahan tidur-tidur ayamnya di lantai berdebu beralaskan selimut dekil. Selimut yang mereka sampirkan di pundak menjadi semacam selendang penangkal dingin, dan menjadi alas tidur di lantai lorong tunggu kereta.

Di tempat lain, saat saya memasuki tempat parkir di stasiun kereta, atau di tempat wisata di sekitar temple ada puluhan pengemis anak-anak dan orang tua menadahkan tangannya minta uang receh dan makanan/minuman untuk sekedar mengganjal perut mereka yang kosong. Di pinggir- pinggir jalan, di tanah kosong, atau di sekitar bangunan mangkrak, kemiskinan di India saya lihat nyata, sangat dekat dengan mata dan kepala saya, aroma tubuh dan nafasnya saya hirup berbau keringat bercampur rempah, cukup menyesak nafas.

Inilah yang disebut dengan kemiskinan di perkotaan, yang sering saya baca di dalam buku, “urban poverty,” kemiskinan masyarakat kota, masyarakat desa yang pergi ke kota mengais remah rejeki, atau masyarakat yang tergusur dari kotanya, karena desanya sudah menjadi kota, dan mereka sudah kehilangan hak atas tanah kelahirannya, karena penggusuran atas nama pembangunan. Seperti kata bijak, ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri.

Kemiskinan di India mencapai 3,5 persen dari jumlah penduduknya, menurut laporan dari Institute Brookings pada April 2024, yang berlokasi 2% ada di desa dan 1% ada di kota, artinya ada 228,9 juta jiwa dalam hidup miskin, yang artinya terbesar di dunia. Dari sisi ilmiah, India merupakan ladang yang sangat subur untuk menjadi tempat meneliti, sebagai objek penelitian, tentang pembangunan, ekonomi, sosial, politik, spiritual, pemerintahan, dan segala hal yang berhubungan dengan kemiskinan. Artinya, kemiskinan itupun bisa dijual menjadi objek yang bisa diuangkan.

Jangan salah, ada ratusan orang India yang sangat ultra kaya, yang menguasai perekonomian dunia, yang kekayaannya mencapai ribuan trilyun rupiah, dan kekayaan mereka meningkat pesat setiap tahunnya. Mukesh Ambani, pimpinan Reliance Industries, kekayaannya mencapai RP. 1,884 trilyun, Haitam Adani, kekayaannya mencapai Rp. 1,700 trilyun, dan puluhan multi konglomerat lainnya, yang membuat ahli ekonomi dunia berdecak kagum, seperti yang dilansir oleh Forbes pada Oktober 2024. Orang kaya baru, dan kelas menengah muncul karena pendidikan, teknologi, manajemen, kerja keras, daya juang, daya saing, kompetensi dan jeberanian merantau ke luar negerinya.

Kemiskinan dan kesenjangan sosial adalah pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah India, yang harus segera diselesaikan. Pendidikan, pemerataan kesempatan kerja, bantuan langsung tunai, membangun industri rakyat, usaha kecil menengah, koperasi, industri pertanian, industri kreatif, bantuan sosial, fasilitas publik, dan pembangunan lainnya yang langsung menyentuh rakyat, harus segera dan kontinyu dilakukan.

Gerakan filantropis, yang membangun aktivitas produksi dan pemasaran produk, membangun kemampuan dan profesionalitas sumber daya manusia harus segera dan kontinyu dikakukan. Jika tidak, maka beban pembangunan akan terasa semakin berat, pemerintah menjadi semakin lemah menanggung beban pembangunan yang kontra produktif, kesempatan atau peluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi tertinggal.

Modal spiritual yang dimiliki masyarakat India, seperti ketekunan, kesabaran, kerja keras, kejujuran, suka belajar, membaca, menulis, dan berdiskusi, juga harus didukung oleh modal materi, yaitu kejujuran dan keseriusan pemerintah dan munculnya diaspora yang sukses dan orang kaya baru untuk saling bahu membahu membangun India, untuk bangkit dan bersaing menjadi negara maju di Asia.

Di perjalanan menuju ke Bandara dari hotel, di tempat- tempat jalur protokol, sampai masuk ke bandara Internasional Indira Gandhi, aroma kemiskinan itu hilang tertelan bumi, di sana ada sangat banyak orang kaya, aromanya harum, lembut dan hangat, penuh senyum dan canda orang kaya menikmati dan menjalani hidupnya. Karena orang miskin tidak bisa masuk ke jalur protokol, walaupun tidak ada tulisan “orang miskin dilarang masuk,” tetapi karena situasilah yang tidak mengijinkan mereka masuk ke areal itu, karena dibatasi oleh jalur cepat, jalan layang, jalan tol, pintu masuk dan ruang parkir yang sangat luas dan bisu.

Badan saya terhempas karena letih duduk di ruang tunggu bandara, batuk kering, mata perih dan ingus meleleh akibat debu yang menyambar mata dan hidung saya selama seminggu. Pertahanan tubuh saya lemah bertempur melawan angin dan debu, sebuah perjalanan panjang seribu kilometer, dari New Delhi sampai Varanashi, dengan kereta dan mobil, menyusuri gang-gang jecil dengan Tuk-tuk.

Sementara, di lorong-lorong kereta, tukang panggul, tukang sunggi barang dan pengemis, madih terus berjuang nelawan kemiskinannya yang menyesak dada. Mereka masih sehat, masih bisa tersenyum dan bercanda, menertawai hidupnya yang tidak lucu. (Selesai).linktr.ee/pakolescom

)* Dirut PT Karya Pak Oles Group.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini