Oleh: Dr. Wididana )*
Sungai Gangga dipercaya sebagai perwujudan Dewi Gangga yang memberikan kesuburan tanah dan kemakmuran melalui bidang pertanian, lingkungan dan menciptakan lapangan pekerjaan melalui industri pariwisata, spiritual dan industri kreatif lainnya.
Sungai Gangga berhulu dari lapisan es gletser yang mencair dari Gunung Himalaya, terus turun melintasi negara India, Nepal, Cina, Bangladesh, bermuara di teluk Bengala. Lumpur, kikisan tanah dan batuan, mineral dari tanaman dan mahluk hidup air, serta dari penguraian bahan organik di dalam ekosistim sungai yang larut dalam air dan menyebar ke dalam tanah-tanah pertanian, perkebunan dan hutan sangat membantu meningkatkan kesuburan tanah untuk budidaya pertanian, peternakan, perkebunan dan tanaman hutan. Sungai Gangga dan anak-anak sungainya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di desa-desa yang dilaluinya, untuk menunjang kehidupan sehari-hari dari berbagai aspek.
Di pinggir Sungai Gangga di daerah Varanasi hadir restauran dan hotel-hotel kecil yang mendukung pariwisata. Motor transportasi kecil beroda tiga yang bermesin listrik buatan India dikenal dengan nama Tuk-tuk siap mengantar penumpang 6 orang sambil berdesakan menyusuri gang-gang kecil dari jalan raya menuju tepi sungai.
Di tepi sungai sejauh 20 kilometer dihiasi bangunan-bangunan tua semacam villa kerajaan jaman dulu yang tidak berpenghuni dan dimiliki oleh negara. Ada puluhan ghat, tempat kremasi jenasah dan temple, sebagai titik berkumpul ribuan manusia mengikuti ritual Hindu. Setiap hari jam 18.00 di depan temple dilakukan ritual suci Arati Puja, sembayang bersama di pinggir sungai gangga, yang diikuti oleh puluhan ribu orang, dan pada hari-hari tertentu peserta Arati Puja bisa meningkat sepuluh kali lipat.
Di pinggir Sungai Gangga di Varanashi dilakukan proses kremasi, pembakaran mayat setiap hari 24 jam. Mayat dikremasi maksimum 24 jam setelah meninggal, dan abunya dibuang ke Sungai Gangga. Suasana mistis menggerayangi tubuh saat saya melintas tempat kremasi, ada sebatang mayat yang terbujur kaku di atas papan berhiaskan rangkaian bunga, mayat lelaki tua dengan wajah pucat pasi dan mulut sedikit menganga, sedang menunggu antrean untuk dikremasi. Di sebelah mayat ada empat orang cucu, dua anak dan satu istrinya duduk di lantai dengan wajah sedih-pasrah.
Saya bergegas berjalan melintasi batang mayat itu sambil berdoa, semoga dia bahagia dan moksha. Saat saya melintasi beberapa tempat kremasi, yang udaranya pengap bau asap daging, tulang dan kayu terbakar, mata saya perih karena asap, batuk dan bersin-bersin. Saya bergegas keluar kerumunan dan antrean panjang ribuan orang yang hilir mudik, antara menuju kerumunan dan keluar dari kerumunan.
Saat itu jam 16.00, kerumunan orang semakin menyemut menuju temple tempat ritual Arati Puja. doa bersama di tepi Sungai Gangga. Saya dan teman-teman 6 orang keluar dari kerumunan menyusuri gang-gang kecil menuju jalan raya yang jauhnya mencapai 4 kilometer. Beruntung ada jasa angkutan Tuk-tuk yang siap mengantar saya ke tempat parkir mobil minibus pariwisata. Hatipun lega, karena bebas dari kerumunan peziarah ritual Arati Puja yang semakin membludak ke Sungai Gangga.
Saya menuju penginapan lebih awal sambil merenung, di Sungai Gangga mereka berkumpul, dalam hidup dan matinya mereka menyatu dengan alam Sungai Gangga yang mereka sucikan. Badan kasar berupa tubuh yang kita banggakan, saat mati, sangat tidak berharga. Badan halus (atma) itulah yang utama yang melanjutkan perjalanan hidup selanjutnya menuju tahapan yang lebih tinggi.
Saat melihat mayat terbujur kaku, dia seolah berkata kepada mereka yang masih hidup, bahwa “sekarang aku, nanti giliranmu.” Hati saya tersentuh, menjadi semakin peka, bahwa akan tiba saatnya nanti, entah kapan, kematian itu pasti datang tanpa permisi, hanya Tuhanlah yang tahu. Semoga berbahagia.linktr.ee/pakolescom
)* Dirut PT Karya Pak Oles Group.