Dr. Wididana: Jurus Lempar Batu Sembunyi Tangan

0
153
Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr, Direktur Utama PT Karya Pak Oles Group.

Direktur Utama PT Karya Pak Oles Grup, Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr mengungkapkan Dalam politik, jurus lempar batu sembunyi tangan biasa dilakukan. Artinya seseorang melempar batu untuk mengenai sasaran, kemudian orang yang melempar itu pura-pura tidak tahu, berlagak sibuk, garuk kepala, plonga plongo, seolah tidak tahu apa yang terjadi. Tentu orang yang kena batu kesakitan, dan orang yang melempar batu tersenyum dalam hati dan berlagak kasihan atas kesakitan orang yang dilempar.

“Dalam hal siapa yang melempar, itu tidak penting, bisa dilakukan sendiri atau orang lain, yang penting orang yang dilempar kena sasaran, tujuan tercapai dan orang yang melempar atau menyuruh melempar tidak diketahui siapa,” ujar Dr. Wididana yang pernah menjabat sebagai Anggota DPRD Bali.

Karena seringnya jurus lempar batu sembunyi tangan dilakukan, maka sekali-kali jurus itu kena batunya, artinya maksudnya ketahuan, atau lemparannya tidak mempan, justru lemparan batu berbalik arah mengenai si pelempar, atau si penyuruh orang yang melempar. Saat itulah si pelempar atau aktor di balik si pelempar cengengesan (tersenyum kecut karena malu) dan cengingisan (tersenyum malu karena sakit).

Alumnus Program Pasca Sarjana (S-2) Faculty Agriculture University of The Ryukyus Okinawa, Jepang (1987-1990) menambahkan, tujuan dari jurus lempar batu sembunyi tangan karena ada udang di balik batu, ada sesuatu yang disembunyikan, untuk mendapatkan udang, tanpa harus bersusah payah, dengan menyuruh orang lain melempar batu.

Bagaimana cara memenangkan pertandingan dengan mudah adalah dengan mengubah peraturan pertandingan agar berat sebelah atau pro terhadap kawan dan melemahkan lawan. Cara yang lain agar pertandingan mudah dimenangkan adalah dengan menyogok jurinya agar pro kepada kawan dan anti terhadap lawan. Dengan cara ini pertandingan akan menjadi berat sebelah, dan bisa dimenangkan dengan mudah oleh kawan.

“Saat kekuasaan menumpuk, maka penguasa bisa jadi mabuk, yang bisa membutakan, menulikan, dan menghalalkan segala cara, untuk menang, untuk tujuan harta dan kekuasaan melenggang, bisa diteruskan ke anak cucu,” ujar pria yang akrab disapa Pak Oles..

Alumnus program S-3 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar menilai, sepandai-pandainya tupai melompat, sekali-kali bisa jatuh juga, bisa jatuh terpeleset di luar perhitungan, bahkan karena hal- hal yang kecil sekalipun. Di atas langit masih ada langit, di atas kekuasaan masih ada yang lebih berkuasa dan sangat berkuasa (Tuhan).

Suara rakyat suara Tuhan, walau masih ada juga suara rakyat yang masih bisa terbeli. Pada sampai titik nadir, titik paling rendah, saat suara rakyat terinjak- injak, merasa tak dihargai karena penguasa tuli dan bermuka tembok, saat itulah rakyat bicara, berteriak menyuarakan kebenarannya, hatinya menjerit perih terhimpit, untuk merebut haknya.

“Hak itu harus direbut dan disuarakan, karena penguasa sedang tuli, mabuk dan buta. Saat itulah senyum cengengesan dan cengingisan dipamerkan, seolah dia tak bersalah,” jelas Dr. Wididana.linktr.ee/pakolescom

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini