
Sistem pertanian di perkotaan atau urban farming dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat dan sekaligus memberdayakan lahan-lahan tidur yang ada di Kota Denpasar, Bali.
Akademisi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Ni Wayan Sri Sutari, S.P., M.P, mengatakan kalau mau konsisten mempertahankan lahan hijau terbuka, sesungguhnya masih banyak lahan tidur milik keluarga geria, puri, dan jero di Kota Denpasar yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan urban farming. “Banyak tanaman yang bisa dikembangkan dan tumbuh subur di Denpasar, meski berada di dataran rendah dengan cuaca panas,” ucap Sri Sutari.
Ia menuturkan, sejak delapan tahun yang lalu, hingga saat ini pihaknya menggandeng petani lokal untuk mengembangkan urban farming dengan memberdayakan lahan-lahan tidur di sejumlah titik di Kota Denpasar.
Bersama para petani, ia telah berhasil memberdayakan lahan tidur seluas lima hektare di kawasan Sanur dan sekitarnya dengan berbagai tanaman sayuran dan buah-buahan. Selain bercocok tanam di tanah, juga dilakukan secara hidroponik untuk beberapa jenis sayuran.
Beberapa jenis sayuran dan buah yang ditanam seperti bayam, kangkung, pokcoy, pisang, pepaya, kelapa, jahe dan lemon. Diakuinya, saat pandemi COVID-19, permintaan jahe dan lemon sangat tinggi.
Hasil dari urban farming, juga disuplai ke swalayan, hotel, restoran, dan kafe-kafe. Apalagi permintaan buah-buahan, terutama pisang, untuk kebutuhan upacara keagamaan di Bali sangat tinggi. Termasuk rumah makan yang dikelola juga menggunakan hasil panen dari pengelolaan urban farming. “Semua orang butuh makan, maka pertanian tidak akan mati,” kata Sri Sutari.
Ia menargetkan urban farming yang dikelola dengan baik, ke depannya dapat juga menjadi destinasi pariwisata. Wisatawan yang datang bisa merasakan sensasi memetik langsung produk yang ditanam, bahkan bisa diisi dengan kelas memasak.
Pak Oles Green School
Sementara itu, Direktur Utama PT Songgolangit Persada Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr berpandangan sistem pertanian perkotaan (urban farming) hendaknya menjadi gerakan sosial masyarakat kota mulai dari masing-masing rumah tangga.
Menggeluti pertanian perkotaan juga merupakan sarana untuk menyalurkan kesenangan (hobi) dan kesehatan, dengan melupakan sejenak pekerjaan untuk relaksasi. “Bertani di pekarangan rumah yang sempit dengan media pot untuk menanam cabai, seledri, kunyit, jahe, lengkuas dan tanaman herbal, yang setiap saat dapat ditata kembali, diberi pupuk organik (bokashi) secara tidak langsung pikiran menjadi tenang dan rileks,” kata Wididana.
Wididana yang biasa disapa Pak Oles ini dalam sejumlah kesempatan saat memberikan pembekalan pada pelajar dan mahasiswa mengatakan pihaknya sejak belasan tahun silam telah menerapkan pertanian perkotaan di pinggiran kota Denpasar yang dinamakan “Pak Oles Green School”.
Pak Oles Green School merupakan konsep pertanian perkotaan yang diterapkan pada hamparan lahan seluas 4.000 meter persegi (40 are) di Jalan Waribang, Kesiman Denpasar Timur, untuk melakukan pembelajaran tentang pertanian organik yang didukung dengan Effective Microorganisms 4 (EM4), teknologi dari Jepang yang mudah, murah, hemat energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Kami mengundang dan melatih anak-anak mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) atau Pendidikan Usia Dini (PAUD), sekolah dasar, sekolah menengah pertama/atas hingga perguruan tinggi, khususnya mahasiswa fakultas pertanian dan farmasi,” tutur Alumnus Faculty Agriculture University of The Ryukyus Okinawa Jepang ini.
Pelajar dan mahasiswa yang datang pun tidak hanya dari Bali, tetapi dari sejumlah kabupaten/kota di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lain di Indonesia. Mereka ingin melihat dari dekat pertanian organik yang diajarkan, diterapkan, maupun hasilnya.https://linktr.ee/em4